Manusia secara naluriah percaya adanya Tuhan sebagai zat maha kuasa yang mengatur alam semesta (Wilson, 1978). Petir misalnya, disebabkan oleh amarah Tuhan tertentu. Terjadinya tsunami dimaknai sebagai tindakan yang dilakukan Tuhan untuk memperingatkan umat tertentu agar tidak berbuat dosa. Bayi yang lahir dengan kondisi cacat dipandang sebagai hukuman Tuhan pada orang tuanya. Asosiasi antara gejala alam dan Tuhan sangat erat dari dahulu.
info lengkap kunjungi web ini
`~~~~~
Asal usul keyakinan pada Tuhan tampaknya dari usaha menjelaskan pengalaman manusia tentang hal-hal baru dan peristiwa-peristiwa yang diluar kebiasaan alam (bencana alam misalnya). Tuhan ada sebagai pengisi celah atas hal-hal tersisih dan abnormal di alam. Jevons (1896:23) menyebutkan kalau Tuhan diawali dengan usaha menjelaskan ketidakteraturan dan kejadian yang bersifat kebetulan.
Kemunculan Tuhan untuk menjelaskan sebab-sebab fenomena fisikal ini memang tidak bersifat sakral. Max Muller (1891) berpendapat kalau tidak ada beda yang besar antara Agni, sang dewa api, dengan konsep eter yang dipakai fisikawan masanya untuk menjelaskan fenomena optika. Sakralitas baru datang ketika ide tentang Tuhan dibawa ke ranah sosial-politik.
Karena Tuhan dikonsepsikan oleh manusia dan ketika dipercaya oleh mayoritas orang dalam masyarakat, maka masuklah konsepsi Tuhan ke dalam politik. Dari sini lahirlah magi, sebuah usaha untuk menggunakan “Tuhan” untuk meraih kekuasaan (Van Peursen, 1988:50). Dengan adanya magi, manusia merasa mampu memanipulasi alam. Durkheim (1992:133) mencontohkan ritus-ritus seperti merubah arah angin, memaksa turunnya hujan, atau bahkan menghentikan gerak matahari. Dari magi inipun berkembanglah agama dimana Tuhan dan hukum disatukan untuk memberikan rasa aman dan menghubungkan manusia dengan kekuatan di luar alam. Hal ini mungkin datang dari kesadaran kalau manusia sendirian tidak mampu menghadapi alam. Mereka membutuhkan agen yang mengatasi alam tersebut. Dengan adanya agen ini, Tuhan, manusia yang beriman mampu menciptakan mukjizat. Mukjizat para nabi misalnya, pada dasarnya merupakan gambaran superioritas manusia untuk menghadapi alam yang dipandang begitu kuat. Dengan adanya personifikasi pada alam, muncul gagasan untuk menyatukan keseluruhannya ke dalam sebuah semesta. Pada gilirannya membawa pada agama-agama besar yang lebih universal dalam memandang alam dan membawa pada konsepsi monoteisme.
Seiring berjalannya waktu, orang mulai merasa tidak puas dengan penjelasan Tuhan, apalagi bila penjelasan tersebut erat kaitannya dengan kekuasaan. Suatu gejala alam tampaknya terjadi begitu saja dan selalu begitu. Sebagai contoh, Aristoteles bicara kalau batu selalu jatuh ke bawah ketika dilempar. Ada sebuah aturan yang tidak dapat dilanggar walau bagaimanapun di alam ini. Dengan asumsi yang disebut determinisme ini, orang mulai mencari penjelasan hukum atau mekanisme alam, sebuah penjelasan yang tidak lagi memerlukan agen Tuhan sebagai penyebab peristiwa alam tersebut terjadi. Hal ini diperkuat lagi mengenai isu keadilan dan kejahatan yang muncul dari para pemikir ketika dihadapkan dengan argumen sebab Tuhan.
Dengan melihat keteraturan di alam ini, para teolog mencoba membangun argumentasi lain mengenai keberadaan Tuhan. Ketimbang menisbahkan Tuhan pada gejala langka yang tak terjelaskan untuk sementara, mereka ikut mengambil asumsi sains, yaitu alam semesta ini secara keseluruhan teratur. Keteraturan alam semesta merupakan argumen yang digunakan sains untuk melawan adanya Tuhan pengisi celah (Tuhan yang menjawab do’a dan menurunan mukjizat). Walau begitu, argumen lawan ini diambil sebagai argumen dasar dengan menarik kesimpulan kalau pasti ada yang mengatur dan menciptakan alam ini, dan sang pengatur dan pencipta itu Tuhan.
Argumen kosmologis memiliki satu komponen menarik yang mirip sains, yaitu prediksi. Ia memprediksi kalau alam semesta ini diciptakan. Walaupun prediksi ini tidak dapat dibuktikan langsung, ia dapat dibuktikan tidak langsung. Jika alam semesta diciptakan, maka ia memiliki awal.
Sementara itu, sains kosmologi masih belum cukup berkembang untuk menjawab pertanyaan apakah alam ini memiliki awal atau tidak. Teori yang cukup kuat adalah teori keadaan tetap, yaitu alam selalu ada selamanya. Teori ini, menariknya, sama dengan konsepsi Jainisme, sebuah agama turunan dari Hindu, yang juga berasumsi demikian. Dan dengan ini, berarti Jainisme juga agama yang unik karena tidak memiliki Tuhan pencipta, walaupun ada Tuhan-Tuhan lain yang pada dasarnya adalah manusia (leluhur) yang mencapai taraf kesempurnaan tertentu.
Selain mengandung komponen sains, argumen kosmologis sendiri kental dengan komponen skriptural. Tuhan menciptakan alam semesta, misalnya dalam agama Abrahamaik yang menyebutkan kalau Tuhan menciptakan alam semesta dalam tujuh hari (masa). Ia bukan berasal dari sebuah argumentasi asli filsuf, tapi argumentasi atau bahkan mungkin asumsi dari para pendiri agama Abrahamaik. Dan ini bukan juga unik Abrahamaik, secara umum keyakinan di dunia, mengatakan kalau alam semesta ini ada yang menciptakan.
Argumen kosmologis sendiri terbagi menjadi tiga tipe (Craig, 1980:282):
- Argumen Aquinas. Argumen ini didasarkan pada kemunduran tanpa akhir yang mustahil. Argumen ini bukan berasal dari Aquinas tetapi dari para pemikir Islam abad pertengahan, tapi pada gilirannya, itupun dapat dirunut hingga ke Plato.
- Argumen kal?m. Didasarkan pada kemustahilan kemunduran waktu tanpa akhir karena ketakhinggaan aktual itu mustahil. Argumen ini datang dari para pemikir islam dan merupakan modifikasi dari argumen pertama (Fakry, 1957).
- Argumen Leibniz dan Clarke. Dibangun berdasarkan Prinsip Bernalar Cukup.
Ketiga argumen di atas dapat diringkas menjadi “Jika segalanya diciptakan, maka alam semesta diciptakan, pencipta alam semesta adalah Tuhan.” Begitu pula, argumen ini umumnya dibalas dengan bertanya “Siapa pencipta Tuhan?” (Hawking, 1988:174). Davis (1997) tidak setuju dengan keabsahan mempertanyakan “Siapa pencipta Tuhan?” Alasannya, Tuhan adalah mahluk perlu (O’Connor, 2008). Ia adalah mahluk yang jika ada, maka tidak dapat tidak ada. Jika ia tidak ada, maka ia tidak dapat ada (Reichenbach, bab 6). Ia perlu ada untuk menutup kemunduran tanpa akhir yang terus muncul dalam rantai sebab akibat. Jika tidak diputus di Tuhan, maka kita akan terus merujuk ke masa lalu tanpa akhir. Eksistensi Tuhan sebagai penghenti regresi bukan argumen logis (karena memang bisa ditanyakan siapa pencipta Tuhan) tetapi argumen metafisik. Metafisika bukan bagian yang dapat diterapkan logika di dalamnya (ingat bagaimana sains menghindari metafisika karena tidak dapat diuji, disalahkan, dan sebagainya). Scotus (1962:46) bahkan lebih bebas lagi. Ia mengizinkan urutan sebab akibat berjalan tanpa akhir. Regresi ke masa lalu selalu ada dan tidak perlu Tuhan menghentikan itu. Tetapi sesuatu pasti selalu mempunyai sebab dalam deretan tak terhingga ini. Jika kita ambil sepotong dari deretan ini sebagai sebuah akibat dan potongan ini adalah alam semesta kita, maka ia punya sebab, dan sebab itu adalah Tuhan. Pertanyaan “siapa pencipta Tuhan?” itu boleh diajukan, tetapi dapat diabaikan. Seluruh sebab sebelum Tuhan, bahkan dapat dinyatakan sebagai Tuhan, karena Tuhan tak terbatas (Lihat Gambar 2).
Gambar 2: Tiga Posisi Tuhan dalam Rantai Sebab-Akibat (kotak merah = Tuhan, S-A = Sebab-Akibat)
Argumen keterbatasan waktu yang diajukan oleh para filsuf kal?m. Termasuk argumen yang paling kuat. Suatu saat di masa lalu, menurut mereka, waktu memiliki awal (Gambar 3(b)). Para ilmuan masa itu umumnya cukup mengatasi masalah ini dengan menyebutkan kalau alam semesta ada selamanya (Gambar 3(a)). Hume (1980, part 9) misalnya, berargumentasi kalau karena kita menurunkan konsep sebab-akibat dari pengamatan kita pada sesuatu dalam keseluruhan (komponen dari alam semesta), sementara keseluruhan (alam semesta) tidak dapat kita amati (karena kita bagian dari alam semesta), maka kita juga tidak dapat menerapkan konsep sebab-akibat pada alam semesta. Alam semesta telah begitu adanya selamanya, karena ia alam semesta.
Reichenbach (1972: Bab 5) mengakui kalau asumsi bahwa alam semesta berperilaku seperti isinya (yang punya sebab-akibat) berpotensi salah. Tetapi alam semesta mungkin terhindar dari kesalahan ini jika kita melihat contoh positif. Contoh negatif misalnya, jika batu bata kecil, maka temboknya kecil. Ini contoh negatif karena belum tentu batu bata kecil tapi seluruh batu bata (tembok)nya kecil juga. Contoh positif misalnya, tembok sesungguhnya batu bata, karena penyusun tembok adalah batu bata. Menurut Reichenbach (1972) alam semesta kita memiliki sifat seperti contoh positif ini dan bisa menerapkan pernyataan “alam semesta memiliki sebab karena komponen-komponennya memiliki sebab.” Kita dapat melihat kalau argumen ini tidak langsung merujuk pada Tuhan, karena kita dapat membayangkan sesuatu yang tidak dapat disebabkan agen, misalnya sesuatu yang terjadi secara kebetulan (kayu-kayu yang hanyut menyumbat sungai dan kebetulan membentuk jembatan).
Versi lain dari gagasan Hume, yang didukung oleh kosmologi modern, adalah tipe alam semesta siklis (Gambar 3(d)). Versi ini menyatakan kalau, walaupun alam semesta berawal dari Big Bang, ia bukanlah alam semesta pertama (Musser, 2004). Versi ini disebut juga versi osilasi, yang menyatakan alam semesta kita merupakan alam semesta terbaru. Sebelum Big Bang, ada alam semesta lain, yang runtuh mengerut (kebalikan dari pengembangan) ke satu titik. Alam semesta adalah siklus dari mengembang mengerut dst. Osilasi ini tampaknya memiliki awal tetapi gagasan adanya awal (dan akhir) ini datang dari asumsi kalau hukum fisika yang berlaku di setiap siklus alam semesta adalah sama (Silk, 2001:380). Bagaimana jika setiap terjadi big bang, hukum fisika yang ada dikocok ulang oleh suatu mekanisme, jika seperti ini, setiap alam semesta lahir, ia adalah generasi yang sungguh-sungguh baru, bukan sisa dari alam semesta sebelumnya. Pilihan pertama tampaknya lebih didukung, karena alam semesta siklis digunakan untuk menjelaskan kelimpahan materi gelap di alam semesta. Materi gelap datang dari alam semesta sebelumnya, dan berarti alam semesta sekarang tidak benar-benar baru.
Pendekatan yang lebih modern, dengan adanya pengetahuan baru mengenai Big Bang, diberikan oleh Hawking. Hawking (1988:116) mendekati masalah ini dengan menyatakan kalau waktu tidaklah berjalan linier, tetapi asimptotik. Semakin mendekati awal waktu, waktu semakin panjang, sedemikian panjangnya bahkan tidak mungkin ada awal waktu (Gambar 3(c)). Akibatnya, awal waktu adalah sesuatu yang ada di ketakhinggaan, sesuatu yang imajiner, dan berarti alam semesta tidak memiliki awal. Jika alam semesta tidak memiliki awal, maka tidak ada pencipta.
Oppy (2002) memberikan contoh paradoks Tristam Shandy. Shandy, seorang tokoh imajiner, butuh waktu satu tahun untuk menulis diari tentang satu hari dalam hidupnya. Jika ia hidup selama setahun, maka ia butuh waktu menulis diarinya untuk tahun itu selama 365 tahun. Pada akhirnya, ia tidak akan pernah selesai menulis diarinya, karena waktu menulis diari lebih lama dari waktu menjalani pengalaman. Lebih parah lagi, bebannya untuk menulis diari akan semakin besar seiring bertambahnya usia. Bahkan jika Shandy adalah mahluk abadi, bebannya untuk menulis diari akan semakin besar tak terhingga di atas tak hingga. Jika awal waktu dipandang sebagai akhir dari diari tersebut, maka awal waktu ini adalah imajiner. Seperti inilah awal waktu yang asimtotik tersebut.
Empat versi argumentasi ini ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3: Perbandingan Empat Versi tentang Awal Waktu dan Realita
Lebih jauh, Silk (2001:63) menekankan empirisme dalam kasus Big Bang. Apa yang kita tahu dari Big Bang adalah alam semesta berada dalam ukuran sangat kecil. Teis terlalu berlebihan dengan menyebutkan alam semesta mewujud ketika Big Bang. Sains dengan kemampuan sebelum sekarang tidak mampu secara teoritis maupun empiris mengetahui apa yang terjadi dalam jarak sangat sempit ini (jarak Planck). Silk menekankan kalau dalam jarak demikian kecil, ada tiga kemungkinan yang ada:
- Alam semesta terus menjadi kecil dan lenyap pada waktu mundur, berarti alam semesta berawal. Ini yang disukai oleh Teis karena bisa ditarik kalau ada sang Pencipta.
- Alam semesta mengembang lagi pada waktu mundur, berarti big bang hasil pengerutan alam semesta sebelumnya yang mencapai batas yang mungkin untuk mengerut. Ini yang disukai ateis, karena berarti alam semesta tak punya awal, hanya melalui siklus.
- Alam semesta dalam kemungkinan lain yang tak terbayangkan. Mungkin ia selamanya seperti itu dan pengembangan alam semesta adalah anomali. Mungkin ada yang salah dengan teori kosmologi modern. Mungkin alam semesta masuk ke level ruang-waktu berbeda, dan mungkin. Ada banyak sekali cara aneh membayangkan alam semesta di masa ini, sejauh kemampuan imajinasi kita memunculkan fantasi.
Dengan adanya argumen dari teisme (Tuhan mencipta alam semesta), materialisme (mungkin alam semesta abadi), dan humanisme (kita tidak tahu karena kita terbatas sebagai manusia), Swinburne (1996:Bab 3) melakukan analisis kemungkinan dan mengajukan kalau argumen yang paling sederhana adalah yang paling pantas diterima. Argumen adanya Tuhan adalah yang paling sederhana, cukup begitu saja, Tuhan ada, selesai masalah. Tetapi, dalam petualangan intelektual manusia memahami alam semesta, muncul konsep yang sedemikian sederhana, lebih sederhana katanya adari Tuhan ada. Konsep ini adalah multijagad. Sebelum beranjak ke penjelasan multijagad, silakan rujuk Tabel 2 untuk rangkuman evolusi argumentasi kosmologis.
Argumentasi Agama | Argumentasi Sains |
Segala yang ada di alam pasti punya sebab, jadi alam semesta punya sebab, yaitu Tuhan (Plato, kal?m, Al Ghazali, Aquinas) | Siapa yang menciptakan Tuhan? |
Tuhan perlu untuk menghentikan regresi (Aquinas), regresi tidak masalah tapi segala sebab sebelum alam semesta adalah Tuhan (Scotus) | Alam semesta tidak punya awal. Apa bukti alam semesta punya awal? |
Tidak ada yang tidak berawal di dunia, jadi alam semesta juga punya awal | Tidak selalu ciri komponen (isi alam semesta) mencirikan keseluruhan (alam semesta) |
Alam semesta bersifat sama dengan penyusunnya (Reichenbach) | Atas dasar apa anda memilih kemungkinan itu dari kemungkinan lainnya? |
Alam semesta diciptakan (Big Bang) | Itu hanya satu kemungkinan dari tafsir Big Bang (Silk). Apa dasar anda memilih kemungkinan itu? |
Keberadaan materi gelap tidak dapat dijelaskan sains (God of the Gap) | Berarti alam semesta bersifat siklis (Musser) |
Alam semesta siklis pasti punya awal | Teori siklis tidak sekuat Big Bang. Materi gelap suatu saat bisa dijelaskan dalam kerangka Big Bang. Kembali, apa alasan anda memilih kemungkinan ini dibandingkan kemungkinan lain? |
Keberadaan Tuhan adalah penjelasan yang paling sederhana (Swinburne) | Ada yang lebih sederhana lagi, yaitu multijagad (Einstein, Everett, Tegmark) |
Tabel 2: Rangkuman Evolusi Argumentasi Kosmologis
Multi Jagat
Struktur alam semesta ini, yang ada kita di dalamnya, pada dasarnya terdiri dari kepadatan tertentu dan materi tertentu. Jika lebih renggang dari sekarang, kita akan melihat lebih sedikit galaksi. Jika lebih padat dari sekarang, tentu kita melihat lebih banyak galaksi. Begitu pula, jika partikel penyusunnya beda, maka zat pengisi alam semesta yang kita lihat akan berbeda pula. Kepadatan dan materi beserta parameternya seperti tetapan kopling dan massa partikel, disebut sebagai kondisi awal alam semesta. Ia ditentukan oleh hukum fisika, yang disebut model standar.
Model standar menyebutkan kalau kekosongan dalam fisika berbeda dengan kekosongan sejati. Ketika kita bicara kekosongan, kita membayangkan ketiadaan apa-apa. Sesuatu yang berdimensi negatif satu dalam matematika. Kosong ya kosong, tidak ada apa-apa (true vacuum). Kekosongan dalam fisika berbeda. Anggap seluruh alam semesta ini kita buang isinya, apa yang tertinggal adalah kekosongan itu sendiri. Tetapi kekosongan ini tetap memiliki sesuatu. Ia tipe kekosongan yang disebut kekosongan palsu (false vacuum). Alam semesta dengan cara ini dapat dibayangkan sebuah mangkuk berisi jus cincau. Kondisi kosong palsu tercapai ketika hanya ada mangkuk, tidak ada jus cincau lagi. Kondisi kosong sejati tercapai ketika tidak ada mangkuk sama sekali.
Dalam kekosongan palsu terdapat gejolak eksistensi yang disebut ilmuan sebagai fluktuasi kuantum. Gejolak eksistensi ini ditandai dengan muncul lalu lenyapnya materi palsu. Sebuah materi sub atom muncul lalu lenyap, dalam selang waktu sepersemiliar detik atau kurang. Gejolak ini memunculkan apa yang disebut ilmuan sebagai gaya kuantum. Dan ini bukan spekulasi, sudah ada eksperimennya dan sudah ada ilmuan yang mendapat nobel karenanya. Gejala ini disebut efek Casimir. Lebih jauh, fluktuasi kuantum ditemukan di alam semesta dan disebut fluktuasi purba oleh pengamatan observatorium COBE (Smoot et al.1992)
Gejolak kuantum inilah yang menjadi asal muasal kondisi awal alam semesta. Alam semesta adalah efek Casimir yang mewujud menjadi nyata. Ia eksis, tapi gagal lenyap, dan menjadi nyata, mengembang bersama kondisi awalnya yang seperti sekarang. Tetapi, sebuah pertanyaan menggelitik, dan ini disebutargumen penyetelan halus (fine-tuning universe): kenapa kondisi awal yang kita peroleh seperti ini, bukan lainnya?
Para fisikawan bertanya, mengapa massa elektron yang dihasilkan gejolak kuantum seperti sekarang, bukan massa yang lain? Setelah diperiksa, dari sekian banyak kemungkinan, hanya ada sedikit kemungkinan yang dapat memunculkan susunan yang memungkinkan kehidupan kompleks. Gabungkan parameter ini dengan parameter lainnya, maka yang kita peroleh adalah sebuah kondisi awal yang sangat langka. Tapi gejolak kuantum muncul setiap saat dalam kekosongan palsu dan kondisi awal yang mana pun punya peluang yang sama untuk muncul. Kenapa harus yang seperti ini? Ada dua kubu : kubu Tuhan dan kubu multijagad. Kubu Tuhan bilang, ya ini karena Tuhan yang memilihkan kondisi awal seperti ini. Kubu Multijagad bilang, itu kebetulan. Kebetulan di alam semesta kita kombinasi yang muncul seperti itu, dan ada tak terhingga alam semesta.
Bagaimana mungkin ada tak terhingga alam semesta? Hal tersebut hanya mungkin benar secara ilmiah jika kita melihat alam semesta lain selain alam semesta kita bukan? Hal ini sebenarnya konsekuensi logis dari teori inflasi. Mari kita tinjau sebentar tentang teori inflasi.
DIameter alam semesta 92 miliar tahun cahaya. Artinya seandainya kita diubah menjadi planet Bumi dan melihat ke kiri, kita mampu mengindera jagad raya hingga sejauh 46 miliar tahun cahaya. Melihat ke kanan, kita bisa melihat jagad raya sejauh 46 miliar tahun cahaya juga. Masuk akal jika usia alam semesta ini adalah 46 miliar tahun, karena itulah waktu minimal yang diperlukan materi bergerak dari satu ujung ke ujung lain jagad raya. Ingat, menurut teori relativitas, kecepatan tertinggi di alam semesta adalah kecepatan cahaya. Tapi, tak disangka, alam semesta usianya hanya 12,8 miliar tahun. Bahkan tak sampai separuh diameter jagad raya. Ini artinya, alam semesta memuai dengan kecepatan melebihi kecepatan cahaya itu sendiri. Bagaimana mungkin? Ini yang disebut masalah domain dalam teori Big Bang.
Untuk menambal kekurangan ini, ilmuan mengajukan teori inflasi (Bucher dan Spergel, 1999). Teori inflasi mengatakan, beberapa saat setelah Big Bang, alam semesta mengembang sangat cepat, sedemikian cepat, hingga melebihi kecepatan cahaya. Seperti balon yang ditiup. Bagian-bagian dari balon ini tidak sempat berhubungan satu sama lain karena kecepatan pengembangan melebihi kecepatan yang bisa ditempuh informasi dari bagian-bagian tersebut untuk menyeberang ke bagian lain. Seberapa cepat inflasi ini? Tampaknya itu bisa diketahui jika kita mengetahui kecepatan gerak bagian terjauh dari alam semesta. Tetapi bagian tersebut sedemikian jauhnya sehingga informasinya belum sampai ke kita. Lebih parah lagi, bagian tersebut semakin menjauh dari kita dengan gerak dipercepat. Informasinya tidak akan pernah sampai ke kita.
Tetapi ilmuan punya cara lain, yaitu mengukur temperatur alam semesta. Jika alam semesta memuai begitu cepatnya pada masa inflasi, semakin cepat ia mengembang, maka alam semesta semakin luas kan? Semakin luas artinya alam semesta semakin datar. Eksperimen dan pengamatan, dilakukan di Antartika dan di luar angkasa, menemukan bahwa, alam semesta kita berbentuk benar-benar datar! (Netterfield et al. 1995; Scott et al. 1996; Lineweaver et al. 1997)
Gambar 5: Kemungkinan Bentuk Alam Semesta. Alam semesta kita berbentuk datar.
Apa artinya alam semesta datar? Artinya alam semesta kita tak terhingga luasnya. Tak terhingga dalam artian datar, bukan seperti donut atau bola yang terhingga tapi tak terbatas (Baltovic, 1999). Ini sangat sederhana bukan? Kita tidak membayangkan kalau pesawat dalam film Star Trek suatu saat akan tiba di ujung Alam Semesta. Itu aneh, lebih masuk akal kalau pesawat tersebut akan terus saja melaju tanpa pernah tiba di suatu ujung. Walaupun alam semesta ini hampir sepenuhnya kosong, tapi jika kita mempunyai roket yang terus bergerak lurus, tanpa dipengaruhi gravitasi, suatu saat ia akan menabrak sebuah benda, tidak mungkin ia menabrak ujung alam semesta.
Dalam masa inflasi, karena kecepatan informasi terbatas, maka daerah-daerah dalam bagian alam semesta yang memuai memiliki konfigurasinya sendiri-sendiri. Fluktuasi kuantum tidak mampu saling menyatu dan akibatnya kondisi awal dari tiap wilayah terpisah ini berbeda-beda. Alam semesta kita hanya satu bintik dari tak terhingga bintik dalam balon yang mengembang ini. Bintik kita, memiliki kondisi awal seperti yang kita amati sekarang. Bintik lain, berbeda. Lebih menyeramkannya lagi, dalam alam semesta tak terhingga, akan ada bintik-bintik yang 100% sama persis dengan alam semesta kita. Dan karena jumlahnya tak terhingga, jumlah bintik-bintik ini juga tak terhingga banyaknya. Tegmark (2008) bahkan menghitung kalau salinan yang tepat seperti anda dan mengerjakan hal yang anda lakukan sekarang, membaca artikel ini, berada pada jarak sekitar 1010^(29) meter jauhnya dari anda sekarang.
Inflasi menyebabkan fluktuasi kuantum mewujudkan seluruh kombinasi yang mungkin dari kondisi awal dan karena kombinasi yang mungkin itu terhingga, maka ada tak terhingga jumlah kombinasi yang sama. Ada tak terhingga anda di dalam jagad yang muncul dari Big Bang, masing-masing tinggal dalam bintiknya sendiri. Para ilmuan menyebut bintik alam semesta lokal ini sebagai volume Hubble atau dilambangkan dengan O (huruf kapital o dengan model huruf ParkAvenue BT).
Dua asumsi pendukung multijagad ini adalah alam semesta tak terbatas dan distribusi materi yang seragam. Kita telah menyebutkan bagaimana alam semesta tak terbatas dikonfirmasi oleh sains, bagaimana dengan distribusi materi yang seragam. Ini mirip dengan argumen yang diajukan oleh Reichenbach sebelumnya bahwa komponen penyusun anggota himpunan mencirikan himpunan itu sendiri, bagian mencirikan keseluruhan. Tapi bagaimana kita yakin? Bisa jadi kasusnya malah seperti bata kecil menyusun tembok besar, bukannya tembok adalah bata karena tersusun dari bata.
Sayangnya para ilmuan hanya menduga hal ini benar berdasarkan pengamatan pada alam semesta kita. Dalam volume Hubble, distribusi materi terlihat seragam ke segala arah. Ketidak seragaman hanya dideteksi pada sutruktur kurang dari sekitar 1024 meter (100 juta tahun cahaya). Ukuran ini sangat kecil dibandingkan dengan O. Jika kita bandingkan, ketidakseragaman hanya mencakup sepersejuta dari bagian volume Hubble. Masuk akal jika ditarik kesimpulan kalau seluruh multijagad bersifat seragam karena ukurannya lebih besar lagi dari volume Hubble. Dalam skala yang jauh lebih besar dari volume Hubble, dapat ada sebuah domain dimana tetapan kopling dan massa partikel dalam model standar tidak konsisten dengan kehidupan dan karenanya, tidak mengherankan kalau kita hidup di volume Hubble yang mendukung kita hidup, jika tidak, kita tidak akan mengajukan pertanyaan mengapa alam semesta kita (O. yang kita tempati) memiliki konfigurasi yang mendorong kehidupan.
Gambar 6: Alam Semesta Kita dalam Multijagad Level 1
Multijagad tipe ini disebut multijagad tingkat 1 oleh Tegmark karena alam semesta-alam semesta hanya berbeda dalam kondisi awalnya saja, sementara hukum fisika yang mengatur alam semesta ini sama. Ia lebih sederhana dari asumsi jagad tunggal yang membutuhkan jawaban atas pertanyaan: mengapa distribusi materi dan kerapatan alam semesta seperti sekarang, kenapa tidak yang lain? Gerakan ID menyebut sebabnya adalah Tuhan yang mereka pandang lebih sederhana. Kesederhanaan ini dimunculkan dari asumsi kalau sebuah peristiwa dengan kemungkinan yang kecil tidak muncul karena kebetulan (Dembski, 1998:48). Tentu saja asumsi ini tidak logis karena kemungkinan apapun, sejauh tidak nol, tetap dapat mewujud secara kebetulan. Ambil contoh seperangkat kartu remi dengan 52 kartu, kemungkinan sebuah konfigurasi 7 kartu ada di tangan anda adalah 1: (52x51x50x49x48x47x46) atau satu dari 674274182400 kemungkinan atau secara pecahan, kemungkinannya adalah 0,000000000001, tetapi tetap saja ia mewujud di tangan anda kan? Dan dalam alam semesta tak terhingga luasnya, kemungkinan ini pasti akan mewujud (Monton, 2004). Itu mengapa para ilmuan (setidaknya filsuf sains), memandang gagasan multijagad yang memunculkan segala kondisi awal yang mungkin lebih sederhana karena kita tidak perlu memilih salah satu dan adanya kita di volume Hubble sekarang hanyalah kebetulan belaka. Tapi, Tegmark beranjak lebih jauh dengan memberikan deskripsi multijagad tingkat kedua, yang lebih sederhana lagi dari tingkat 1.
Untuk memahami alam semesta dan segala mekanismenya, manusia mengembangkan teori-teori fisika. Teori fisika memberikan penjelasan berdasarkan rasio empiris yang dimiliki manusia. Pada dasarnya, teori fisika terdiri dari dua unsur, yaitu bagian formal dan bagian interpretif (Everett, 1973:133). Bagian formal mencakup struktur yang murni logika matematika. Struktur ini disebut pula model matematika. Manusia mengabstraksi alam menjadi seperangkat persamaan-persamaan dan aturan logika untuk memanipulasi persamaan tersebut. Sebuah konsep yang ditarik dari alam dibentuk menjadi simbol dan direkayasa sesuai aturan berpikir jernih sehingga diperoleh konsekuensi-konsekuensi. Bagian interpretif mencakup seperangkat asosiasi antara model matematika dengan pengalaman duniawi. Artinya, konsekuensi yang didapatkan dari aturan bernalar kemudian di kembalikan ke alam untuk diuji kebenarannya. Aturan ini berbentuk semantik yang mengkaitkan bahasa teori formal dengan bahasa hidup sehari-hari (Frank, 1946:3-4). Tulisan ini akan menunjukkan kalau terdapat beberapa teori dalam fisika pada dasarnya dibangun bukan oleh pembuktian tersebut, namun berdasarkan keimanan. Lebih lanjut, juga ditunjukkan kalau setidaknya dalam kasus tafsir multijagad, teori yang dipercaya secara dogmatis tersebut berhasil ditunjukkan, secara tidak langsung, berdasarkan perkembangan teknologi kemudian.
Mitos Lenyapnya Mitos dalam Sains
Mitos merupakan sebuah penjelasan sementara yang dianggap menjadi penjelasan pasti atas sesuatu. Sementara diartikan sebagai sebuah penjelasan yang tidak memiliki bukti. Apabila ada bukti, maka penjelasan sementara akan digantikan dengan penjelasan yang objektif dan bersifat permanen. Penjelasan tersebut mengangkat mitos menjadi faktual, jika mitos tersebut terbukti benar. Sebaliknya, ketika mitos tersebut terbukti salah, mitos baru muncul sampai ada mitos yang terbukti benar.
Mengatakan kalau pelangi merupakan turunnya bidadari dari langit adalah mitos, karena setelah diperiksa, ternyata tidak ada bidadari di ujung pelangi. Mitos bidadari dan pelangi berangkat dari pengalaman penutur mitos, mungkin ia membayangkan para bidadari memiliki selendang aneka warna dan berada di langit, sehingga ketika pelangi terlihat menyentuk langit, dapat diasosiasikan kalau bidadari turun dari langit dan selendangnya membekas menjadi aneka warna. Orang kemudian memunculkan mitos baru berdasarkan pengalamannya, katakanlah bahwa pelangi adalah hasil pembiasan cahaya. Mitos ini diuji dalam realitas kembali dan ternyata benar, pembiasan cahaya menghasilkan pelangi. Mitos tersebut menjadi sebuah fakta.
Sains sendiri dapat dipahami sebagai ilmu dan sebagai proses. Sebagai ilmu, teori yang belum terbukti benar atau salah merupakan bagian dari sains. Ia menjadi bagian penjelasan umum yang sementara atas sebuah fenomena alam. Sebagai proses, teori yang belum terbukti benar atau salah bukan merupakan bagian dari sains. Ia dapat dipahami sebagai mitos pula, hingga sains membuktikannya benar atau tidak. Karena sains pada intinya bukan lagi dipandang sebagai koleksi pengetahuan umum namun dipandang sebagai sebuah semangat untuk menggunakan nalar (baik deduktif rasional maupun induktif empiris) maka teori di masa sekarang dapat disebut sebagai mitos, dalam artian teori yang belum terbukti kebenarannya.
Antara Realitas dan Teori sebagai Mitos
Sebuah teori memiliki seperangkat proposisi atau pernyataan yang membangun teori tersebut. Sebagai contoh, teori gerak Newton terdiri dari empat proposisi: tiga proposisi yang terkenal sebagai hukum gerak Newton dan satu proposisi tentang hukum gravitasi. Keempat proposisi ini semua terbukti benar dan menjadi pendukung kuat kebenaran teori gerak Newton sebagai teori yang ilmiah.
Dalam pandangan hubungan antara teori sebagai mitos dan realitas senyatanya, filsafat sains memiliki dua aliran besar, yaitu positivisme ekstrim dan positivisme moderat. Keduanya merupakan positivis karena menekankan pada nalar dan logika dalam mencari fakta dan untuk menerima teori (Psillos, 2007:184).
Positivisme ekstrim atau positivisme garis keras memandang proposisi-proposisi yang menyusun sebuah teori, seluruhnya harus dianggap mitos dan dibuktikan kebenarannya (Barrett, 2011). Dengan kata lain, sebuah teori yang ilmiah haruslah teori yang isomorfisme yaitu memiliki korespondensi satu-satu dengan realitas. Positivisme moderat sebaliknya, cukup beberapa proposisi saja dalam sebuah teori yang perlu dibuktikan dan proposisi lainnya cukup diimani saja sebagai bagian yang tak dapat lepas dari perangkat teori yang telah terbukti sebagian kebenarannya tersebut (Frank, 1955:291-2). Teori ilmiah dalam perspektif positivisme moderat cukup bersifat homomorfisme yaitu sebagian saja yang berkorespondensi dengan realitas (Everett, 1973:133). Dalam wacana positivisme moderat, maka sains akan penuh dengan teori-teori tidak sempurna dalam pandangan positivisme garis keras. Sementara itu, bagi positivisme moderat sendiri, desakan agar seluruh proposisi sebuah teori sains dibuktikan akan memiskinkan sains karena beberapa teori yang telah dipandang ampuh walaupun masih terjelaskan parsial, akan diusir keluar dari sains.
Wacana Teori Segalanya
Bagi penganut positivisme garis keras, teori segalanya adalah sebuah utopia. Teori segalanya adalah teori yang dimaksudkan untuk menjelaskan segalanya. Hal ini adalah konsekuensi logis dari penyempurnaan teori terus menerus. Sebagai contoh, katakanlah suatu teori mengandung 3 proposisi dan ketiga proposisi ini telah menjadi sebuah kepastian, maka teori ini menjadi kokoh. Ketika ada fenomena baru yang tak dapat dijelaskan teori ini, maka dibangun teori baru yang menyempurnakan dengan menambahkan, katakanlah satu proposisi, sehingga menjadi teori dengan 4 proposisi. Hal ini terus berlanjut sehingga sebuah teori baru muncul dari teori-teori lama dengan menambahkan proposisi-proposisinya. Anggap alam semesta dapat dijelaskan oleh sebuah teori dengan 40 proposisi, maka suatu saat, akumulasi dari proposisi-proposisi teori pada akhirnya akan mencapai kesempurnaan dengan 40 proposisi ini, dan tercapailah akhir dari sains. Dikatakan sebagai akhir dari sains karena telah tidak ada lagi proses penemuan induktif empiris. Yang tersisa adalah penemuan deduktif yang tidak lagi mampu diartikan sebagai penemuan, karena pada dasarnya hanya menarik dari satu teori utama, yaitu teori segalanya.
Masalahnya sekarang adalah kita tidak tahu berapa banyak proposisi yang dapat dimiliki oleh sebuah teori segalanya. Ilmuan di abad ke-19 misalnya, percaya kalau teori Newton adalah teori segalanya dengan keempat proposisinya. Karena ia dianggap sebagai teori segalanya maka ialah realitas yang sesungguhnya (Everett, 1973:134), dalam artian aturan matematis yang tersemantikkan dalam dunia pengalaman manusia. Tetapi setelah Einstein menemukan teori relativitasnya, teori Newton menjadi tidak selengkap relativitas Einstein. Kekuasaan teori relativitaspun tak lama ketika teori mekanika kuantum dirumuskan. Akibatnya teori segalanya harus mencakup proposisi-proposisi yang mewadahi teori relativitas Einstein dan mekanika kuantum sekaligus.
Kemudian bagaimana jika teori segalanya memiliki 6 juta proposisi didalamnya, apakah ini berarti teori tersebut tidak akan pernah dicapai manusia kapanpun. Dan jika tercapaipun, akankah teori tersebut terpahami oleh manusia? Bagaimana bentuk semantiknya?
Aliran positivisme moderat memandang teori segalanya mungkin tak akan pernah tercapai secara mutlak karena beberapa bagian dari teori tersebut akan berada di luar pengalaman manusia. Tak mungkin dapat lagi beberapa proposisinya diuji secara empiris karena untuk itu dibutuhkan pengetahuan menyeluruh mengenai alam semesta. Tidak ada cara untuk memverifikasi kalau suatu teori segalanya sepenuhnya benar, semata karena totalitas seluruh pengalaman tidak akan pernah terakses oleh kita (Everett, 1973:134).
Tafsir Mekanika Gelombang Murni
Teori relativitas telah begitu rumitnya dan tak kalah rumitnya mekanika kuantum. Dalam upaya mencapai teori segalanya, ilmuan semestinya memahami bagaimana teori relativitas dan teori kuantum dapat disatukan. Teori kuantum khususnya, memiliki tiga penafsiran: (1) tafsiran standar von Neumann-Dirac, (2) tafsiran Kopenhagen, dan (3) tafsiran mekanika gelombang murni (Barrett, 2011). Dari ketiga tafsiran ini, yang umum diterima sekarang adalah tafsiran mekanika gelombang murni dari Hugh Everett III. Lebih jauh, tafsiran ini juga yang paling sederhana.
Teori multijagad berangkat dari pemahaman kuantum kalau keadaan alam semesta merupakan bentuk sebuah benda matematis yang disebut fungsi gelombang. Dimensi waktu membuat keadaan alam semesta ini berevolusi. Dalam mekanika kuantum sendiri, keadaan partikel bersifat acak dan tidak pasti. Walau begitu, fungsi gelombang berevolusi dengan cara yang deterministik (Tegmark, 2005).
Penafsiran Everett meramalkan kalau keacakan yang muncul pada dasarnya adalah determinisme. Jika seseorang diajak pergi makan malam dan orang tersebut merespon ajakan tersebut, dunia membelah menjadi dua (atau berapapun banyaknya pilihan yang ada) yaitu dunia dengan orang yang memutuskan untuk menerima dan dunia dengan orang yang memutuskan untuk menolak.
Gambar 1: Terciptanya dua dunia (sumber: Tegmark, 2005)
Ilustrasi yang lebih matematis adalah sebagai berikut. Jika peluang mata dadu 3 muncul adalah 1/6, dan ternyata setelah dikocok keluar mata dadu 2, maka berdasarkan teori Everett, mata dadu 3 juga keluar, hanya di alam semesta lain yang membelah. Tidak ada alasan jika kemungkinan 1/6 keluar menjadi 1 atau 0 setelah dadu digulirkan. Ketika dadu digulirkan, maka alam semesta kita bercabang menjadi enam alam semesta, masing-masing dengan mata dadunya sendiri (1 hingga 6). Kita hidup di dunia dimana dadu menunjukkan 2, dan ada kita yang lain sebanyak lima orang yang mengalami mata dadu lainnya, sehingga seluruh kemungkinan yang bisa ada, menjadi ada. Seluruh potensi mewujud dalam cabang-cabang alam semesta. Kita tidak sadar kalau diri dan seluruh alam kita tersalin menjadi alam semesta baru dengan sejarah masa depan yang berbeda (de Witt, 2003).
Tafsiran Everett terasa janggal ditinjau dari manapun. Tafsiran Everett bersifat tidak intuitif bagi realitas. Disinilah penjelasan mengejutkan Everett, seluruh potensi yang ada dari fungsi gelombang sebenarnya mewujud, tetapi di alam semesta lain. Lebih mengejutkan lagi, alam semesta ini pertama kali ada saat itu juga. Tindakan pengamatan menjadikan sebuah fungsi gelombang membelah menjadi begitu banyak dunia, masing-masing dengan realitas sama nyatanya dengan realitas yang kita alami. Dari sini, disebutlah teori Everett sebagai teori multijagad. Ada tak terhingga jagad, setiap saat membelah dan membelah dengan berbagai realitas alternatif. Ada jagad raya dimana dinosaurus menjadi presiden dan ada jagad raya dimana tidak satupun manusia ada di dalamnya.
Dalam sudut pandang katak di permukaan bumi, mungkin kita menganggapnya aneh. Tegmark (2005) menjelaskan kita untuk mencoba mengambil sudut pandang elang yang berada di luar multijagad. Bagi pandangan elang, hanya ada satu fungsi gelombang. Hanya ada satu alam semesta yang sebenar-benarnya semesta (fisikawan lebih senang menyebutnya ruang Hilbert). Alam semesta membelah di mana-mana dan bercabang-cabang ke sana kemari akibat kesadaran. Kapanpun terjadi pengambilan keputusan, sebuah keadaan kuantum di otak membagi dunia berdasarkan pilihan yang ada. Ketika anda membaca tulisan ini dan memutuskan membaca paragraf selanjutnya, ada dunia baru dimana anda membaca tulisan ini tapi tidak memutuskan membaca paragraf selanjutnya.
Teori multijagad begitu anehnya sehingga kita dapat langsung menggolongkannya sebagai mitos. Tapi bahkan mitospun tak seaneh ini. Tetapi beberapa filsuf dan ilmuan setuju kalau teori multijagad punya beberapa bukti, dan bukti ini dapat menjadikan penganut positivisme moderat memegangnya sebagai landasan kalau teori multijagad adalah teori yang ilmiah.
Teori multijagad berangkat dari asumsi kalau evolusi waktu fungsi gelombang bersifat uniter. Walaupun alam semesta tidak diketahui apakah memiliki fungsi gelombang uniter, tetapi komponen-komponen mikro telah menunjukkan fungsi gelombang uniter. Fungsi gelombang uniter bukan hanya terbukti pada level atom namun bahkan level molekul buckyball 60 dan serat optik sepanjang satu kilometer. Secara teori, korespondensi AdS/CFT yang dikembangkan teori string (sebuah kandidat teori segalanya) menunjukkan kalau gravitasi kuantum bersifat uniter pula. Atas dasar ini, lubang hitam tidak merusak informasi tapi mengirimkannya entah kemana.
Konsekuensinya adalah tidak terhingga alam semesta. Ketika big bang terjadi, tak terhingga kemungkinan kombinasi nilai fisika yang berpotensi. Dalam teori Everett, seluruh kombinasi tersebut mewujud. Kita kebetulan saja berada di satu alam semesta yang memiliki kombinasi tertentu yang seolah terpilih acak (atau teliti – tergantung ideologi anda).
Walau begitu, jumlah alam semesta seiring bertambahnya waktu tidak bertambah. Tegmark (2005) menghitung ada 10 pangkat 10 pangkat 118 buah alam semesta pada suhu dibawah 100 juta kelvin pada level kuantum. Dari pandangan burung, fungsi gelombang hanya ada satu tapi ketika dilihat lebih dekat, terdapat cabang-cabang saling berpisah dan bertemu yang jumlahnya sebanyak bilangan di atas. Realitas yang anda rasakan mengenai berjalannya waktu adalah pergeseran dari satu cabang ke cabang lainnya terus menerus tanpa akhir. Ketika anda membaca ini, anda berada di alam semesta A. Sekarang anda membaca kalimat ini, anda telah berada di alam semesta B. Alam semesta B memiliki pengamat (yaitu anda) sama seperti alam semesta A, tetapi anda dan salinan anda memiliki sejarah berbeda.
Penutup
Agama sering dikritik sebagai sebuah keyakinan berlandaskan keimanan yaitu percaya begitu saja. Apakah keberadaan bukti menjadi keimanan lemah atau kuat bukanlah pertanyaan dalam artikel ini, namun keimanan memang dapat ada walaupun tanpa bukti atas apa yang diyakini. Sains setidaknya berdasarkan keimanan bagi para positivis moderat. Keimanan dalam sains terletak pada ketiadaan bukti atas proposisi-proposisi teori. Ketiadaan bukti ini memang ada yang bersifat sementara seperti proposisi dalam teori relativitas khusus yang pada akhirnya terbukti benar. Tetapi ada pula proposisi yang tak akan pernah dapat terbuktikan seperti proposisi yang diajukan tafsiran mekanika gelombang murni fisika kuantum. Tidak ada cara untuk mengetahui apakah alam semesta kita ini tunggal atau jamak, karena setiap usaha untuk mengambil keputusan (misalnya eksperimen untuk mengukur keberadaan alam semesta jamak) akan menjadikan alam semesta itu jamak dan kita terpaksa mendeteksi satu keadaan padahal ingin mendeteksi seluruh keadaan. Katak tidak dapat menjadi elang walau bagaimanapun caranya. Karenanya, sains harus bertopang pada keimanan pula.
Referensi
Barrett, J.A. [2011]: ‘On the Faithful Interpretation of Pure Wave Mechanics’, British Journal for the Philosophy of Science, 0(2011), 1-17
de Witt, B. [2003]: ‘The Everett interpretation of quantum mechanics’, Barrow, J. D., Davies, P. C. W., & Harper, C. L (eds), Science and Ultimate Reality: From Quantum to Cosmos, Cambridge: Cambridge Univ. Press
Everett, H. III [1973]: ‘The Theory of the Universal Wave Function’, B. S. DeWitt and R. N. Graham (eds), The Many-Worlds Interpretation of Quantum Mechanics, Princeton, NJ: Princeton University Press, pp. 3–140.
Frank, P. [1946]: Foundations of Physics, International Encyclopedia of Unified Science, Volume 1, no. 7, Chicago: University of Chicago Press.
Frank, P. [1955]: Modern Science and Its Philosophy, New York: George Braziller
Psillos, S. [2007]: Philosophy of Science A-Z. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Tegmark, M. [2005]: The Multiverse Hierarchy. B. Carr (ed), Universe or Multiverse? Cambridge: Cambridge University Press.
Referensi
Baltovic, Mark. 1999. The Topology of the Universe. Online. Tersedia di:http://www.maths.lse.ac.uk/Personal/mark/topos.pdf
Referensi
Craig, William Lane, 1980, The Cosmological Argument from Plato to Leibniz, London: The Macmillan Press.
Davis, Stephen, 1997, God, Reason & Theistic Proofs, Grand Rapids: Eerdmans.
Fakry, Majid, 1957, “The Classical Islamic Arguments for the Existence of God”, The Muslim World: 133–145
Hawking, S.W. 1988, A Brief History of Time, New York: Bantam Books
Hume, David, 1980, Dialogues Concerning Natural Religion, Indianapolis: Hackett
Musser, George, 2004, “Four Keys to Cosmology,” Scientific American, February: 43.
O’Connor, Timothy, 2008, Theism and Ultimate Explanation: the Necessary Shape of Contingency, London: Wiley-Blackwell
Oppy, Graham, 2002, “The Tristram Shandy Paradox,” Philosophia Christi 4, no. 2: 335–349
Reichenbach, Bruce R., 1972, The Cosmological Argument: A Reassessment, Springfield: Charles Thomas.
Scotus, John Duns, 1962, Philosophical Writings, Indianapolis: Bobbs-Merrill Co
Silk, Joseph, 2001, The Big Bang, San Francisco: W.H. Freeman
Swinburne, Richard, 1996, Is There a God? Oxford: Oxford University Press
Tegmark, M. 1997. On the Dimensionality of Spacetime. Class. Quantum Grav. 14, L69-L75
http://www.faktailmiah.com/2012/02/24/tuhan-dan-sains-modern-part-4-argumen-kosmologis.html
Tidak ada komentar:
Write komentar